Manusia diciptakan Allah untuk
menjadi khalifah dibumi (Q.S. Al-Baqarah: 30). "Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(Q.S. Al
Baqarah)
Untuk itu Allah melengkapi
potensi manusia dengan Panca Indera, akal, qolbu, nafsu (ammarah, lauwamah,
sofiah) dan potensi tersebut apabila dimanage secara ikhlas karena Allah maka
akan dapat membangkitkan energi yang dahsyat sebagai bekal manusia dalam menjalankan
tugasnya sebagai khalifah.
Dalam Al Qur’an banyak
pentunjuk sangat rinci untuk memupuk nilai-nilai keikhlasan, tujuannya adalah
untuk mengembangkan semua kecakapan, keterampilan, secara terkoordinasi dan
bermanfaat. Apapun yang telah didelegasikan Allah kepada manusia baik kecakapan
batin (ikhlas) maupun kecakapan lahir harus digunakan semaksimal mungkin dan
seakurat mungkin, selektif dan efisien. Pemanfaatan potensi tersebut harus
disinergikan dan diatur sesuai sunatullah kalau tidak potensi tersebut tidak
lagi merupakan kekuatan moral spiritual-energi ihlas. (Mannan, 1992: 358-359)
Manusia mempunyai naluri secara alami dan secara sunatullah dapat diubah
menjadi sifat-sifat moral (ikhlas) melalui pengaturan dan penyesuaian
yang tepat dengan menggunakan pertimbangan Al Qur’an, As-sunnah dan logika
sains serta teknologi. Puasa yang semata-mata hanya sekedar menahan makan-minum
dan bergaul suami isteri adalah puasa biologis dan tidak akan mencapai kesucian
jiwa, sedangkan hakekat puasa adalah komprehensif dan integral antara unsure
biologis, intelektual dan spiritual, sehingga puasa dapat mencerdaskan ketiga
unsur biologis, intelektual dan spiritual, sehingga puasa dapat mencerdaskan
ketiga unsur tersebut.
Rasulullah pernah bersabda :
“Ada orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus belaka” (HR. Ahmad).
Tepat apa yang disampaikan Rasulullah bahwa puasa tersebut adalah puasa
biologis yang mungkin hanya mempunyai efek kesehatan saja, sedangkan kesucian
jiwa (keikhlasan) tidak diperoleh dengan cara berpuasa seperti ini. Naluri
alami pada manusia harus diubah menjadi kekuatan moral spiritual (energi
ikhlas) yaitu dengan menutup (mempuasakan) panca indera untuk tidak menerima
rangsangan yang dipantulkan oleh materi menangkap impuls listrik dan disampaikan
kepada pangkal otak.
Setelah pikiran orang yang
berpuasa (ikhlas) terbebas dari godaannya dengan alam materi maka meningkatlah
pikiran itu ke dalam badan pikiran. (menthaal lichaam) dan kemudian mengalami
perubahan, mula-mula menjadi intuisi-infra-intelektual yang kemudian mengalami
perubahan, mula-mula menjadi intuisi-infra-intelektual yang dapat beresonansi
dengan alam angan-angan (imaginasi), oleh karena itu pikiran menjadi
ideatif-kreatif, kemudian masuk ke dalam prilaku untuk berubah menjadi pikiran
yang normatif dan akhirnya mencapai puncak peningkatan yang dapat meninjau
secara langsung hakekat tiap-tiap sesuatu dan hakekat terakhir. Dari teori ini
dapat disimpulkan bahwa aliran materialism, sekularisme dan positivisme tidak
mungkin dapat membebaskan penganut-penganutnya dari ikatannya dengan alam
materi untuk memperoleh kehidupan spiritual (energi ihlas). Adalah suatu
kebohongan besar apabila aliran materialisme mengatakan bahwa umat manusia
harus dijamin keputusan materialnya terlebih dahulu untuk dapat memperoleh
energi ihlas.
Manusia berbeda dengan hewan
dan satu-satunya yang membedakan adalah kemampuan untuk dapat melepaskan diri
dari ikatan dengan pangkal otaknya yang berisi hawa nafsu yang tidak tepat.
Pikiran materialisme adalah pikiran yang tidak bebas yang selalu menghambakan
dirinya kepada nafsu. Dengan membebaskan diri dari keinginan nafsu jahat maka
pangkal Mutmainnah. Pikiran yang bebas dari pengaruh pangkal otak dengan
sendirinya menjadi ideatif-kreatif dan mutmainnah (energi ihlas) yang tidak
semata-mata menjamin terbentuknya energi ihlas, tetapi juga akan membawa kita
kearah kebahagian dan keseimbangan hidup secara material dan spiritual, sesuai
dengan firman Allah SWT: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan". (Q.S. Al-Qoshos)
Semoga puasa yang kita jalani
dapat meluruskan pandangan selama ini bahwa puasa berdampak negatif terhadap
kinerja (malas), tetapi justru sebaliknya puasa dapat berdampak positif
terhadap kinerja yang religius (amal sholeh) jika pelakunya ihlas karena Allah
SWT, walaupun secara biologis sedang menahan makan dan minum, menahan syahwat
nafsu shofiah, tetapi secara spiritual akan mendapat energi ihlas yang sangat
dahsyat, sebagaimana yang dimiliki oleh para Syuhada, para Pejuang Kemerdekaan
Republik Indonesia, para Nabi-Nabi dahulu, seperti Rasulullam Muhammad SAW
pernah perang diwaktu puasa bulan Ramadhan, dan Nabi Ibrahim AS dibakar tetapi
tidak apa-apa karena keihlasannya, dan tentunya bagi kita puasa yang benar akan
membangkitkan energi ihlas untuk berkinerja secara religius (amal sholeh).
Wallohu a’lam bi shawab
Tidak ada komentar:
Write komentar